Oleh : Adiadwan Herrawan.
Orientalis berawal dari semangat para ilmuwan Barat dalam tradisi
keilmuan melalui kajian intensif yang mempelajari peradaban timur, khususnya
peradaban Islam, sesuai semangat zaman pencerahan dengan semboyan “Ex
Oriente Lux” (dari Timur muncul
cahaya).
Bermula dari “gerakan intelektual” di masa ‘romantic
movement’ di abad 17-18,
menumbuhkan tradisi keilmuan dan intelektual dalam kajian pemikiran, peradaban,
budaya, sejarah, ‘oriental studies’ dengan beragam fokus Mesir, Cina, India,
Arab juga Islam. Dan kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin
besar terutama setelah Perang Salib pada abad kesebelas Masehi, dengan mulai
menerjemahkan buku-buku Islam (era ‘translation movement’). 1
Semangat mempelajari agama Islam sangat erat berhubungan dengan
Kolonialisme dalam misi “3-G” (Gold-Gospel-Glory). Tidak terkecuali di Indonesia, penjajahan Belanda di Indonesia
yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh, seperti
yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje. Yang menarik, semangat para Orientalis
menjadikan Islam sebagai ‘objek penelitian’, dengan tanpa mempedulikan aspek
kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan mereka melihat agama Islam sebagai
fenomena sosial semata, sehingga melahirkan pengkategorisasian yang salah,
seperti; Islam klasik, Islam Moderat, Islam Fundamentalis, Islam Radikal juga
Islam Liberal.
Pierre Maurice de Montboissier yang dikenal sebagai Petrus
Venerabilis, pada tahun 1141, telah memulai merintis sebuah “Islamic studies”
di kalangan Kristen, yang berlokasi di Toledo, Spanyol, dengan menghimpun,
membiayai dan menugaskan penerjemahan untuk menghasilkan karya-karya yang akan
dijadikan landasan untuk para misionaris Kristen dalam berinteraksi dengan kaum
Muslim. 2
Para teolog Kristen di masa lampau pada umumnya menjadikan Bibel
sebagai acuan dalam menilai kualitas dan validitas Al-Qur’an, sehingga dapat
mengubah penafsiran terhadap Al-Qur’an. Bahkan mereka membongkar aspek teologi
dan epistemologi Islam ke akar-akarnya sehingga akhirnya dapat mengubah
keyakinan ummat Islam terhadap kitab suci, hadits dan segala aspek keimanan
lainnya. 3
Kegagalan sejarah Barat dalam memahami Bibel, justru menggunakan
dan menyebar luaskan “metode Hermeneutika” sebagai metode alternatif untuk
memahami Al-Qur’an. Akibatnya, Al-Qur’an hanya dinilai sebagai kitab biasa yang
dipengaruhi faktor sosial-politik, sebagai produk budaya, yang berakibat
menodai kesakralan Al-Qur’an.
Demikianlah kaum Orientalis menyerang pondasi ummat Islam, dengan
menyerang otentitas dan validitas Al-Qur’an dan Hadits, serta secara sistematis
merintis studi Islam melalui jalur-jalur pendidikan. Naudzubillah.
1 SYAMSSUDDIN ARIF, Studi Islam di Barat: Cita, Fakta, Ciri dan Cara, INSISTS.
2 AKMAL SJAFRIL, Islam Liberal 101, Indie Publishing, 2011.
2 AKMAL SJAFRIL, Islam Liberal 101, Indie Publishing, 2011.
3 HAMID FAHMY ZARKASYI, Pengantar Islam Liberal: Liberalisasi Projek Barat, 2011.
* Sumber :
Materi Kuliah SEKOLAH SEJARAH & PERADABAN ISLAM : “Sejarah dan Orientalisme”, Dr. SYAMSUDDIN ARIF – Direktur INSISTS, Kampus UI Departemen Sejarah FIB-UI, Depok, 16 April 2016.
* Sumber :
Materi Kuliah SEKOLAH SEJARAH & PERADABAN ISLAM : “Sejarah dan Orientalisme”, Dr. SYAMSUDDIN ARIF – Direktur INSISTS, Kampus UI Departemen Sejarah FIB-UI, Depok, 16 April 2016.
No comments:
Post a Comment