Friday, 8 April 2016

ISLAM NUSANTARA: Tantangan Dakwah dalam Perang Pemikiran (‘Ghazwul Fikriy’)

 
oleh : Adiadwan Herrawan.
Konsep ISLAM NUSANTARA akhir-akhir ini telah menjadi perdebatan di antara para aktivis dakwah di Indonesia. Inisiator kelompok ini mengaku bahwa konsep tersebut merupakan itikad luhur yang menggabungkan antara nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air, dengan menunjukkan adanya ‘kearifan lokal’ yang tidak melanggar ajaran Islam. Konsep ini dianggap sebagai pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Bahkan mereka meyakini bahwa Islam Nusantara telah lahir bersamaan dengan hadirnya Pesantren yang dirumuskan oleh para Kyai Ahlussunnah Wal jamaah sebagai warisan para Wali Songo sebagai ciri Kebangsaan Indonesia.     
Kita selayaknyalah untuk mewaspadai segala bentuk lahirnya hal baru dalam konteks keagamaan di Indonesia tersebut, karena seolah telah terencana secara kasat mata lahirnya Islam Nusantara ini melalui berbagai rangkaian kegiatan resmi baik di tataran Pemerintah Pusat, Kementerian Agama, Organisasi Masyarakat, Universitas Islam Negeri serta liputan Media yang sangat intensif membahasnya, sehingga telah membentuk opini publik yang sangat mengkhawatirkan. Adanya tipikal gaya pendekatan kelompok pendukung Liberalisme dalam Agama turut menjadikan konsep Islam Nusantara perlu menjadi perhatian yang serius. Oleh karenanya di sinilah diperlukan upaya nyata dan sikap kritis untuk menghadapi argumentasi yang mereka kemukakan, dengan cara yang santun dan berdasar kepada keilmuan agama yang kuat. Sebuah tantangan dakwah yang nyata dalam format Perang Pemikiran (‘Ghazwul Fikriy’) dalam format Gerakan Intelektual.
Dalam menjalani gerakan dakwah intelektual, hal utama dan pertama yang harus dipahami adalah adanya peringatan Allah SWT dalam firmannya (yang artinya): “Iblis berkata – Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku SESAT, pasti aku akan MENJADIKAN MEREKA MEMANDANG BAIK (PERBUATAN MAKSIAT) di muka bumi, dan pasti aku akan MENYESATKAN MEREKA SEMUANYA, kecuali hamba-hamba-MU yang ikhlas di antara mereka” .
(QS. Al-Hijr: 39-40). Sebuah dalil yang telah jelas, bagaimana kehadiran berbagai hal baru yang hadir atas nama keindahan istilah semacam Islam Nusantara yang berusaha ‘membuat jarak’ dengan segala yang ‘dekat’ dengan isu Arabisasi, Jilbab, pengucapan Salam, bahkan langgam bahasa Arab di bumi Indonesia ini, dan berusaha mengembalikan kepada akar budaya lokal, patutlah disikapi dengan cermat.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Tentu kesalahan sangat fatal jika Islam disejajarkan dengan adat istiadat dan budaya sehingga menganggap ajaran Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Katakanlah - Hai manusia, sesungguhnya aku adalah UTUSAN ALLAH KEPADAMU SEMUA, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. Al-A’raf: 158).
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan KEPADA UMMAT MANUSIA SELURUHNYA, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS.Saba’: 28).
Dengan dalil-dalil di atas sangatlah jelas bagaimana Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk seluruh ummat manusia di bumi ini. Rasulullah SAW memang diutus saat itu di tengah bangsa Arab untuk ‘meng-Islamkan Arab’, bukan meng-Arabkan Islam. Bahkan untuk meng-Islamkan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arabkan ummat manusia. Sehingga sangatlah jelas, tidak ada ada istilah ‘Arabisasi dalam Islam’, yang ada adalah – Islamisasi segenap ummat manusia.  Maka dalam aktualisasinya, sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT yang tercantum di Al-Qur’an dan Hadits, apapun itu yang ‘tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits’ harus diluruskan, bukan justru sebaliknya ajaran Islam yang harus menyesuaikan kondisi budaya lokal, bila budaya tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Munculnya konsep-konsep seperti ini merupakan tipikal gerakan yang dijiwai oleh semangat Liberalisme dan Pluralisme dalam agama Islam selama ini - yang selalu mencari-cari pembenaran ‘ilmiah’ dengan alasan untuk melestarikan keragaman atau menjaga tradisi kearifan lokal. 1                                                                                
Sejalan dengan perjuangan dalam menghadapi gerakan seperti ini, yang sangat berpotensi untuk memecah belah ummat, khususnya kewaspadaan terhadap isu Islam Liberal, seharusnyalah diperlukan persatuan ummat yang bahu membahu dalam menghadapinya, mengabaikan begitu saja perbedaan mazhab, harakah, dan pandangan politik yang selama ini mengotak-ngotakkan ummat Islam. Ini adalah ‘entry point’ yang penting untuk diperhatikan oleh semua aktivis dakwah, jika memang niatnya lillahi ta’ala dan bersih dari segala ta’ashub. 2
Semoga tantangan dinamika keummatan yang akhir-akhir ini semakin meningkat, khususnya dengan berkembangnya isu konsep Islam Nusantara ini, dapat dijadikan momentum terbaik bagi para aktivis dakwah untuk terus bersinergi dalam langkah perjuangan dakwah mengawal akidah ummat melalui perang pemikiran (‘ghazwul fikriy’) yang menjunjung tinggi intelektualitas keilmuan berdasarkan nilai-nilai kebenaran sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. InsyaAllah.

1)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. 8.
2)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. xiv.

No comments:

Post a Comment