oleh : Adiadwan Herrawan.
Konsep ISLAM
NUSANTARA akhir-akhir ini telah menjadi perdebatan di antara para aktivis
dakwah di Indonesia. Inisiator kelompok ini mengaku bahwa konsep tersebut
merupakan itikad luhur yang menggabungkan antara nilai Islam teologis dengan
nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air, dengan menunjukkan
adanya ‘kearifan lokal’ yang tidak melanggar ajaran Islam. Konsep ini dianggap
sebagai pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Bahkan mereka
meyakini bahwa Islam Nusantara telah lahir bersamaan dengan hadirnya Pesantren
yang dirumuskan oleh para Kyai Ahlussunnah
Wal jamaah sebagai warisan para Wali Songo sebagai ciri Kebangsaan
Indonesia.
Kita
selayaknyalah untuk mewaspadai segala bentuk lahirnya hal baru dalam konteks
keagamaan di Indonesia tersebut, karena seolah telah terencana secara kasat
mata lahirnya Islam Nusantara ini melalui berbagai rangkaian kegiatan resmi
baik di tataran Pemerintah Pusat, Kementerian Agama, Organisasi Masyarakat,
Universitas Islam Negeri serta liputan Media yang sangat intensif membahasnya,
sehingga telah membentuk opini publik yang sangat mengkhawatirkan. Adanya
tipikal gaya pendekatan kelompok pendukung Liberalisme dalam Agama turut
menjadikan konsep Islam Nusantara perlu menjadi perhatian yang serius. Oleh
karenanya di sinilah diperlukan upaya nyata dan sikap kritis untuk menghadapi
argumentasi yang mereka kemukakan, dengan cara yang santun dan berdasar kepada
keilmuan agama yang kuat. Sebuah tantangan dakwah yang nyata dalam format
Perang Pemikiran (‘Ghazwul Fikriy’)
dalam format Gerakan Intelektual.
Dalam menjalani
gerakan dakwah intelektual, hal utama dan pertama yang harus dipahami adalah
adanya peringatan Allah SWT dalam firmannya (yang artinya): “Iblis berkata – Ya Tuhanku, karena Engkau
telah memutuskan bahwa aku SESAT, pasti aku akan MENJADIKAN MEREKA MEMANDANG
BAIK (PERBUATAN MAKSIAT) di muka bumi, dan pasti aku akan MENYESATKAN MEREKA
SEMUANYA, kecuali hamba-hamba-MU yang ikhlas di antara mereka” .
(QS. Al-Hijr:
39-40). Sebuah dalil yang telah jelas, bagaimana kehadiran berbagai hal baru
yang hadir atas nama keindahan istilah semacam Islam Nusantara yang berusaha
‘membuat jarak’ dengan segala yang ‘dekat’ dengan isu Arabisasi, Jilbab, pengucapan Salam, bahkan langgam bahasa Arab di
bumi Indonesia ini, dan berusaha mengembalikan kepada akar budaya lokal, patutlah
disikapi dengan cermat.
Al-Qur’an
diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada
kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Tentu kesalahan sangat
fatal jika Islam disejajarkan dengan adat istiadat dan budaya sehingga
menganggap ajaran Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Katakanlah - Hai manusia, sesungguhnya aku
adalah UTUSAN ALLAH KEPADAMU SEMUA, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit
dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan
dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya)
dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. Al-A’raf: 158).
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan KEPADA
UMMAT MANUSIA SELURUHNYA, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS.Saba’: 28).
Dengan dalil-dalil di atas sangatlah jelas
bagaimana Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk seluruh ummat
manusia di bumi ini. Rasulullah SAW memang diutus saat itu di tengah bangsa Arab
untuk ‘meng-Islamkan Arab’, bukan meng-Arabkan Islam. Bahkan untuk
meng-Islamkan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arabkan ummat
manusia. Sehingga sangatlah jelas, tidak ada ada istilah ‘Arabisasi dalam
Islam’, yang ada adalah – Islamisasi segenap ummat manusia. Maka dalam aktualisasinya, sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT yang tercantum di Al-Qur’an
dan Hadits, apapun itu yang ‘tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits’ harus
diluruskan, bukan justru sebaliknya ajaran Islam yang harus menyesuaikan
kondisi budaya lokal, bila budaya tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Munculnya konsep-konsep
seperti ini merupakan tipikal gerakan yang dijiwai oleh semangat Liberalisme
dan Pluralisme dalam agama Islam selama ini - yang selalu mencari-cari
pembenaran ‘ilmiah’ dengan alasan untuk melestarikan keragaman atau menjaga
tradisi kearifan lokal. 1
Sejalan dengan perjuangan
dalam menghadapi gerakan seperti ini, yang sangat berpotensi untuk memecah
belah ummat, khususnya kewaspadaan terhadap isu Islam Liberal, seharusnyalah
diperlukan persatuan ummat yang bahu membahu dalam menghadapinya, mengabaikan
begitu saja perbedaan mazhab, harakah,
dan pandangan politik yang selama ini mengotak-ngotakkan ummat Islam. Ini
adalah ‘entry point’ yang penting
untuk diperhatikan oleh semua aktivis dakwah, jika memang niatnya lillahi ta’ala dan bersih dari segala ta’ashub. 2
Semoga tantangan
dinamika keummatan yang akhir-akhir ini semakin meningkat, khususnya dengan
berkembangnya isu konsep Islam Nusantara ini, dapat dijadikan momentum terbaik
bagi para aktivis dakwah untuk terus bersinergi dalam langkah perjuangan dakwah
mengawal akidah ummat melalui perang pemikiran (‘ghazwul fikriy’) yang menjunjung tinggi intelektualitas keilmuan
berdasarkan nilai-nilai kebenaran sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. InsyaAllah.
1)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. 8.
2)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. xiv.
No comments:
Post a Comment