Thursday 5 May 2016

PLURALISME AGAMA : Paham yang Bertentangan dengan Ajaran Islam.


oleh : Adiadwan Herrawan.

Paham Pluralisme Agama dalam Islam telah ditetapkan adalah haram dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini telah ditetapkan sesuai Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005. Tetapi karena paham ini telah disebarkan oleh kekuatan global dengan dukungan politis dan dana yang sangat besar di segala bidang, maka perkembangannyapun semakin luas hingga kini. Apa dan bagaimanakah paham Pluralisme ini?

Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa “semua agama adalah sama”. Oleh karenanya kebenaran setiap agama adalah “relatif”. Sehingga setiap pemeluk agama tidak boleh mengakui bahwa “hanya agamanya saja yang benar”, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga kelak.

Pluralisme tidak membenarkan penganut atau penganut agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh. Sehingga wacana Pluralisme adalah merupakan upaya “penyeragaman” (‘uniformity’) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Sedangkan Pluralitas Agama adalah sebuah kenyataan bahwa negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Sejatinya antara syariat Tauhid Islam dengan paham Pluralisme Agama tidak mungkin bertemu, sebab paham tersebut secara jelas mengajarkan syirik. Syariat Islam mengakui eksklusivitas keesaan Allah SWT dan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai “satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan”, sedangkan yang lain “mengakui kebenaran dan validitas semua agama”. Syirik adalah kedzaliman yang paling besar (‘zhulmun azhim’). Naudzubillah.

Dalam konsepsi Islam, sekedar menyatakan Allah mempunyai anak saja sudah disebut sebagai kemunkaran besar, dan Allah SWT sangat murka dengan hal itu. Melalui paham Pluralisme Agama, semua kemunkaran tersebut dilegitimasi. Pluralisme Agama sudah jelas telah membongkar Islam dari konsep dasarnya. Akan tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka dan lainnya. Karenanya mustahil paham Pluralisme Agama dapat hidup berdampingan secara damai bersama tauhid Islam, karena sudah jelas dasar dan dalilnya.

Dari Adi bin Hatim r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya kaum yang dimurkai adalah orang-orang YAHUDI, dan kaum yang tersesat adalah orang-orang NASRANI” (HR.Ahmad, at-Tirmidzi).

Sebagai suatu bentuk Liberalisasi Agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap ‘Political Pluralism’ yang telah lama disebarkan oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal abad modern, yang secara nyata dipraktekkan oleh Amerika Serikat. Penyebaran paham ini telah berkembang dengan pesatnya, termasuk dilakukan oleh sekelompok muslim sendiri, yang mencoba melakukan upaya ‘dekonstruksi’ atau reduksi berbagai konsep baku dalam Islam. 1  

Pluralisme Agama berada pada satu rantai yang sama dengan Sekularisme dan Liberalisme. Dapat dikatakan, Pluralisme adalah konsekuensi logis dari kehadiran Sekularisme. Karena bagaimanapun kehadiran agama tidak dapat diindahkan begitu saja, maka Sekularisme tidak memastikan semua agama, namun secara sistematis ‘memandulkan’ agama-agama itu melalui Pluralisme. 2

Yang memprihatinkan adalah banyaknya para tokoh Muslim yang mendiamkan bahkan turut mendukung penyebaran paham Sekularisme Agama ini secara aktif ke tengah ummat. Paham ini telah menyusup jauh ke jantung-jantung lembaga pendidikan ummat, sehingga dapat terlihat dari banyaknya respon negatif dari kalangan akademisi dan perguruan tinggi terhadap Fatwa MUI tersebut. Sungguh memprihatinkan. Semoga kondisi ini akan menjadi tantangan dakwah dalam semangat kebenaran Akidah dan Syariat Agama kita. InsyaAllah.

1  ADIAN HUSAINI, “Pluralisme Agama : Haram”, Pustaka Al-Kautsar, 2005.
2  AKMAL SJAFRIL, “Islam Liberal 101”, Indie Publishing, 2011.

MEMAHAMI SEJARAH dan PERADABAN ISLAM (3) : ORIENTALISME.



Oleh : Adiadwan Herrawan.

Orientalis berawal dari semangat para ilmuwan Barat dalam tradisi keilmuan melalui kajian intensif yang mempelajari peradaban timur, khususnya peradaban Islam, sesuai semangat zaman pencerahan dengan semboyan “Ex Oriente Lux” (dari Timur muncul cahaya).

Bermula dari “gerakan intelektual” di masa ‘romantic movement’ di abad 17-18, menumbuhkan tradisi keilmuan dan intelektual dalam kajian pemikiran, peradaban, budaya, sejarah, ‘oriental studies’ dengan beragam fokus Mesir, Cina, India, Arab juga Islam. Dan kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin besar terutama setelah Perang Salib pada abad kesebelas Masehi, dengan mulai menerjemahkan buku-buku Islam (era ‘translation movement’). 1

Semangat mempelajari agama Islam sangat erat berhubungan dengan Kolonialisme dalam misi “3-G” (Gold-Gospel-Glory). Tidak terkecuali di Indonesia, penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje. Yang menarik, semangat para Orientalis menjadikan Islam sebagai ‘objek penelitian’, dengan tanpa mempedulikan aspek kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan mereka melihat agama Islam sebagai fenomena sosial semata, sehingga melahirkan pengkategorisasian yang salah, seperti; Islam klasik, Islam Moderat, Islam Fundamentalis, Islam Radikal juga Islam Liberal.

Pierre Maurice de Montboissier yang dikenal sebagai Petrus Venerabilis, pada tahun 1141, telah memulai merintis sebuah “Islamic studies” di kalangan Kristen, yang berlokasi di Toledo, Spanyol, dengan menghimpun, membiayai dan menugaskan penerjemahan untuk menghasilkan karya-karya yang akan dijadikan landasan untuk para misionaris Kristen dalam berinteraksi dengan kaum Muslim. 2

Para teolog Kristen di masa lampau pada umumnya menjadikan Bibel sebagai acuan dalam menilai kualitas dan validitas Al-Qur’an, sehingga dapat mengubah penafsiran terhadap Al-Qur’an. Bahkan mereka membongkar aspek teologi dan epistemologi Islam ke akar-akarnya sehingga akhirnya dapat mengubah keyakinan ummat Islam terhadap kitab suci, hadits dan segala aspek keimanan lainnya. 3

Kegagalan sejarah Barat dalam memahami Bibel, justru menggunakan dan menyebar luaskan “metode Hermeneutika” sebagai metode alternatif untuk memahami Al-Qur’an. Akibatnya, Al-Qur’an hanya dinilai sebagai kitab biasa yang dipengaruhi faktor sosial-politik, sebagai produk budaya, yang berakibat menodai kesakralan Al-Qur’an.

Demikianlah kaum Orientalis menyerang pondasi ummat Islam, dengan menyerang otentitas dan validitas Al-Qur’an dan Hadits, serta secara sistematis merintis studi Islam melalui jalur-jalur pendidikan. Naudzubillah.

1  SYAMSSUDDIN ARIF, Studi Islam di Barat: Cita, Fakta, Ciri dan Cara, INSISTS.
2  AKMAL SJAFRIL, Islam Liberal 101, Indie Publishing, 2011.
3   HAMID FAHMY ZARKASYI, Pengantar Islam Liberal: Liberalisasi Projek Barat, 2011.

* Sumber :
Materi Kuliah SEKOLAH SEJARAH & PERADABAN ISLAM :
“Sejarah dan Orientalisme”, Dr. SYAMSUDDIN ARIF – Direktur INSISTS, Kampus UI Departemen Sejarah FIB-UI, Depok, 16 April 2016.