Sunday 12 June 2016

SEKULARISME dan MATERIALISME : akan Menjauhkan Ummat Islam dari Agama.


Oleh Adiadwan Herrawan

Sebagai materi sesi ke tiga dalam perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam pada tanggal 26 September 2015, Akmal Syafril, M.Pd.I membahas materi "Sekularisme dan Materialisme". Sebuah materi yang sangat relevan dalam konteks 'Ghazwul Fikri' di Indonesia, khususnya terhadap perkembangan yang semakin memprihatinkan dari gerakan Liberalisme Agama.

"Kondisi dunia Barat yang sangat Sekuler bermula dari masalah sejarah Kristen itu sendiri, khususnya problem teks bible dan teologis Kristen", jelas Akmal.

Hal tersebut yang menjadikan kondisi saat ini, yang menurut Akmal sebagai - Kristen yang ter-Baratkan. Dunia Barat yang sangat menjunjung tinggi Rasionalitas dalam berpikir telah membentuk pola kehidupan yang Sekuler, yang sangat memprioritaskan kekuatan akal manusia dan intelektualitasnya melebihi kebenaran wahyu. Sejatinya kebenaran wahyu adalah mutlak, sementara kebenaran akal bersifat relatif. Akal berfungsi untuk memahami dan tunduk kepada wahyu. Beginilah karakter seorang Mukmin seharusnya, walaupun sering mendapat pertentangan dari pihak lain di luar Islam 1

Akmal selanjutnya menjelaskan, "Masa kelam Eropa (Romawi Barat) justru terjadi akibat peran Gereja sebagai pusat kegelapan di masa itu. Hegemoni Barat dalam setiap aspek kehidupan telah menyuburkan paham Sekularisme yang menjauhkan alam dari Tuhan, desakralisasi politik serta ketidak-abadian dari nilai-nilai yang dianut".

Sekularisme sejatinya adalah paham yang memisahkan agama dari negara dan kehidupan ('fashlud diin 'anil hayah/daulah'), yang akhirnya akan menjauhkan manusia dari agamanya. Hal inilah yang menjadikan Sekularisme berseberangan bahkan berhadap-hadapan ('vis a vis') dengan Syariat Islam.

Pintu masuk paham Sekularisme adalah melalui Orientalisme, yang menilai Islam melalui cara pandang dan persepsi orang Barat. Paradigma yang mereka gunakan untuk mendekati Islam adalah paradigma Barat yang Sekuler, Liberal dan Materialistik. Sebuah cara pandang melalui metode kritik terhadap ajaran Islam inilah pintu masuk bagi lahirnya generasi Sekuler di dunia Islam melalui berbagai tulisan dan kajian-kajian di negara Barat bahkan di universitas Islam di negara Islam itu sendiri. Sungguh memprihatinkan.

“Kegamangan dunia Barat terhadap kondisi masa lalu Kristen di masa lalu telah berdampak kepada cara berpikir dan perilaku masyarakatnya, yang cenderung sama dengan perilaku kebiasaan ummat dan pemimpin agamanya di masa lalu. Sehingga tidaklah heran dengan kondisi Barat saat ini”. Demikian Akmal menjelaskan.

Sehingga hanya Islam lah yang sebuah Kebenaran yang datang dari Allah SWT sebagai akhir dari rangkaian Nabi dan Rasul yang telah menyebarkan ajaran Tauhid kepada ummatnya, yang jauh dari bahaya dan dampak negatif cara berpikir Sekularisme, apalagi Materialisme. Saatnya kita mempelajari, mendalami dan mendakwahkan kepada ummat atas hal ini. InsyaAllah.
 
* Sumber :
1 Dr. DAUD RASYID, MA, Melawan Sekularisme, Usamah Press, 2009.
Materi Perkuliahan, Sekolah Pemikiran Islam, Universitas Al-Azhar, Jakarta, 26 September 2015.

KONSEP WAHYU dan KENABIAN : Pemahaman Mendasar dalam Kehidupan Islami.


Oleh : Adiadwan Herrawan.

Pelaksanaan Perkuliahan Sekolah Pemikiran Islam (SPI-3) telah memasuki pertemuan kedua, pada 12 September 2015 yang lalu. Sesi kedua tersebut disampaikan oleh Ustadz Ahmad Rafiqi yang membahas materi "Konsep Wahyu dan Kenabian".

Dalam materi ini dijelaskan bagaimana bentuk Wahyu yang diturunkan dari Allah SWT. "Wahyu dari Allah SWT diturunkan dalam bentuk 'Qalam' atau Perkataan Firman Allah SWT yang tercantum dalam Al-Qur'an, serta 'I'lam' atau Ajaran yang disampaikan oleh Nabi SAW dalam Hadits", jelas Ahmad Rafiqi dalam penyampaiannya kepada seluruh peserta perkuliahan yang hadir saat itu.

Disampaikan lebih lanjut bahwa Al-Qur'an diturunkan melalui ucapan dan hafalan ('Qira'ah) oleh malaikat Jibril lalu diteruskan para Sahabat. Setelah proses penurunan melalui hafalan dengan 'sanad' yang jelas, lalu diteruskan penyebarannya melalui dokumen dan catatan ('Mus'haf'). Kemudian barulah masuk ke tahap 'pemaknaan' sebagai proses akhir dari penurunan Al-Qur'an.

Ahmad Rafiqi menegaskan secara mendalam mengenai proses penyampaian wahyu kepada Nabi SAW. "Rasulullah SAW tidak merencanakan dirinya untuk menjadi seorang Nabi", jelas Rafiqi. Hal tersebut dijelaskannya terbukti karena Nabi SAW tidak mengenal malaikat Jibril, bahkan beliau kaget dan berlari dari situasi tersebut, hingga bertanya tentang apa yang terjadi.

Kondisi dan suasana hati Rasulullah SAW pada saat itu sungguh sangatlah menegangkan baginya. Ini jelas menandakan bagaimana beliau sama sekali tidak mengetahui tentang rencana kenabian yang terjadi pada dirinya.

"Ciri khusus seorang Nabi adalah menerima Wahyu yang diturunkan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril, memiliki Mu'jizat yang khusus bagi masing-masing Nabi, dan sebagai pribadi manusia yang sempurna, serta hanyalah diperuntukkan bagi seorang laki-laki", demikian penjelasan Ahmad Rafiqi mengenai konsep dasar ciri kenabian, sambil mengakhiri sesi perkuliahan saat itu.

Demikian pentingnya pemahaman mengenai Konsep Wahyu dan Kenabian sebagai dasar dalam menilai kehidupan ini sesuai dengan cara pandang Islam ('Islamic Worldview'), khususnya untuk menghadapi perang pemikiran terhadap aliran-aliran sesat yang semakin marak akhir-akhir ini ('Ghazwul Fikri').
Semoga.

* Sumber : Sekolah Pemikiran Islam, Universitas Al-Azhar, Jakarta, 12 September 2015.

Thursday 5 May 2016

PLURALISME AGAMA : Paham yang Bertentangan dengan Ajaran Islam.


oleh : Adiadwan Herrawan.

Paham Pluralisme Agama dalam Islam telah ditetapkan adalah haram dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini telah ditetapkan sesuai Fatwa MUI dalam Musyawarah Nasional yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005. Tetapi karena paham ini telah disebarkan oleh kekuatan global dengan dukungan politis dan dana yang sangat besar di segala bidang, maka perkembangannyapun semakin luas hingga kini. Apa dan bagaimanakah paham Pluralisme ini?

Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa “semua agama adalah sama”. Oleh karenanya kebenaran setiap agama adalah “relatif”. Sehingga setiap pemeluk agama tidak boleh mengakui bahwa “hanya agamanya saja yang benar”, sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga kelak.

Pluralisme tidak membenarkan penganut atau penganut agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekspresikan jati dirinya secara utuh. Sehingga wacana Pluralisme adalah merupakan upaya “penyeragaman” (‘uniformity’) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Sedangkan Pluralitas Agama adalah sebuah kenyataan bahwa negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Sejatinya antara syariat Tauhid Islam dengan paham Pluralisme Agama tidak mungkin bertemu, sebab paham tersebut secara jelas mengajarkan syirik. Syariat Islam mengakui eksklusivitas keesaan Allah SWT dan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai “satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan”, sedangkan yang lain “mengakui kebenaran dan validitas semua agama”. Syirik adalah kedzaliman yang paling besar (‘zhulmun azhim’). Naudzubillah.

Dalam konsepsi Islam, sekedar menyatakan Allah mempunyai anak saja sudah disebut sebagai kemunkaran besar, dan Allah SWT sangat murka dengan hal itu. Melalui paham Pluralisme Agama, semua kemunkaran tersebut dilegitimasi. Pluralisme Agama sudah jelas telah membongkar Islam dari konsep dasarnya. Akan tidak ada lagi konsep mukmin, kafir, syirik, surga, neraka dan lainnya. Karenanya mustahil paham Pluralisme Agama dapat hidup berdampingan secara damai bersama tauhid Islam, karena sudah jelas dasar dan dalilnya.

Dari Adi bin Hatim r.a., Nabi Muhammad SAW bersabda : “Sesungguhnya kaum yang dimurkai adalah orang-orang YAHUDI, dan kaum yang tersesat adalah orang-orang NASRANI” (HR.Ahmad, at-Tirmidzi).

Sebagai suatu bentuk Liberalisasi Agama, Pluralisme Agama adalah respon teologis terhadap ‘Political Pluralism’ yang telah lama disebarkan oleh para peletak dasar-dasar demokrasi pada awal abad modern, yang secara nyata dipraktekkan oleh Amerika Serikat. Penyebaran paham ini telah berkembang dengan pesatnya, termasuk dilakukan oleh sekelompok muslim sendiri, yang mencoba melakukan upaya ‘dekonstruksi’ atau reduksi berbagai konsep baku dalam Islam. 1  

Pluralisme Agama berada pada satu rantai yang sama dengan Sekularisme dan Liberalisme. Dapat dikatakan, Pluralisme adalah konsekuensi logis dari kehadiran Sekularisme. Karena bagaimanapun kehadiran agama tidak dapat diindahkan begitu saja, maka Sekularisme tidak memastikan semua agama, namun secara sistematis ‘memandulkan’ agama-agama itu melalui Pluralisme. 2

Yang memprihatinkan adalah banyaknya para tokoh Muslim yang mendiamkan bahkan turut mendukung penyebaran paham Sekularisme Agama ini secara aktif ke tengah ummat. Paham ini telah menyusup jauh ke jantung-jantung lembaga pendidikan ummat, sehingga dapat terlihat dari banyaknya respon negatif dari kalangan akademisi dan perguruan tinggi terhadap Fatwa MUI tersebut. Sungguh memprihatinkan. Semoga kondisi ini akan menjadi tantangan dakwah dalam semangat kebenaran Akidah dan Syariat Agama kita. InsyaAllah.

1  ADIAN HUSAINI, “Pluralisme Agama : Haram”, Pustaka Al-Kautsar, 2005.
2  AKMAL SJAFRIL, “Islam Liberal 101”, Indie Publishing, 2011.

MEMAHAMI SEJARAH dan PERADABAN ISLAM (3) : ORIENTALISME.



Oleh : Adiadwan Herrawan.

Orientalis berawal dari semangat para ilmuwan Barat dalam tradisi keilmuan melalui kajian intensif yang mempelajari peradaban timur, khususnya peradaban Islam, sesuai semangat zaman pencerahan dengan semboyan “Ex Oriente Lux” (dari Timur muncul cahaya).

Bermula dari “gerakan intelektual” di masa ‘romantic movement’ di abad 17-18, menumbuhkan tradisi keilmuan dan intelektual dalam kajian pemikiran, peradaban, budaya, sejarah, ‘oriental studies’ dengan beragam fokus Mesir, Cina, India, Arab juga Islam. Dan kecenderungan orang-orang Barat mengkaji Islam semakin besar terutama setelah Perang Salib pada abad kesebelas Masehi, dengan mulai menerjemahkan buku-buku Islam (era ‘translation movement’). 1

Semangat mempelajari agama Islam sangat erat berhubungan dengan Kolonialisme dalam misi “3-G” (Gold-Gospel-Glory). Tidak terkecuali di Indonesia, penjajahan Belanda di Indonesia yang menjadikan studi Islam sebagai alat untuk menaklukkan daerah Aceh, seperti yang dilakukan oleh Snouck Hurgronje. Yang menarik, semangat para Orientalis menjadikan Islam sebagai ‘objek penelitian’, dengan tanpa mempedulikan aspek kebenaran yang ada di dalamnya. Bahkan mereka melihat agama Islam sebagai fenomena sosial semata, sehingga melahirkan pengkategorisasian yang salah, seperti; Islam klasik, Islam Moderat, Islam Fundamentalis, Islam Radikal juga Islam Liberal.

Pierre Maurice de Montboissier yang dikenal sebagai Petrus Venerabilis, pada tahun 1141, telah memulai merintis sebuah “Islamic studies” di kalangan Kristen, yang berlokasi di Toledo, Spanyol, dengan menghimpun, membiayai dan menugaskan penerjemahan untuk menghasilkan karya-karya yang akan dijadikan landasan untuk para misionaris Kristen dalam berinteraksi dengan kaum Muslim. 2

Para teolog Kristen di masa lampau pada umumnya menjadikan Bibel sebagai acuan dalam menilai kualitas dan validitas Al-Qur’an, sehingga dapat mengubah penafsiran terhadap Al-Qur’an. Bahkan mereka membongkar aspek teologi dan epistemologi Islam ke akar-akarnya sehingga akhirnya dapat mengubah keyakinan ummat Islam terhadap kitab suci, hadits dan segala aspek keimanan lainnya. 3

Kegagalan sejarah Barat dalam memahami Bibel, justru menggunakan dan menyebar luaskan “metode Hermeneutika” sebagai metode alternatif untuk memahami Al-Qur’an. Akibatnya, Al-Qur’an hanya dinilai sebagai kitab biasa yang dipengaruhi faktor sosial-politik, sebagai produk budaya, yang berakibat menodai kesakralan Al-Qur’an.

Demikianlah kaum Orientalis menyerang pondasi ummat Islam, dengan menyerang otentitas dan validitas Al-Qur’an dan Hadits, serta secara sistematis merintis studi Islam melalui jalur-jalur pendidikan. Naudzubillah.

1  SYAMSSUDDIN ARIF, Studi Islam di Barat: Cita, Fakta, Ciri dan Cara, INSISTS.
2  AKMAL SJAFRIL, Islam Liberal 101, Indie Publishing, 2011.
3   HAMID FAHMY ZARKASYI, Pengantar Islam Liberal: Liberalisasi Projek Barat, 2011.

* Sumber :
Materi Kuliah SEKOLAH SEJARAH & PERADABAN ISLAM :
“Sejarah dan Orientalisme”, Dr. SYAMSUDDIN ARIF – Direktur INSISTS, Kampus UI Departemen Sejarah FIB-UI, Depok, 16 April 2016.

Friday 22 April 2016

MEMAHAMI SEJARAH dan PERADABAN ISLAM (2): Ajaran dan Agama yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul adalah “ISLAM”.


oleh: Adiadwan Herrawan.

Mempelajari secara mendalam Sejarah Nabi dan Rasul akan semakin memperkuat Keimanan diri. Bahwa sesungguhnya semua ajaran yang dibawa oleh Nabi dan Rasul “adalah ISLAM”. Sehingga tidak ada lagi keraguan bahwa Islam adalah agama para Nabi dan Rasul dalam setiap ajaran yang dibawanya.

Dari keturunan Nabi Ibrahim a.s. Keturunan Ibrahim akan terbagi menjadi 2(dua) keturunan Nabi Ismail a.s yang kelak melahirkan bangsa/suku Arab, serta keturunan Nabi Ishaq a.s yang akan melahirkan bangsa/suku Yahudi.

Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Sesungguhnya Aku menjadikan engkau (Ibrahim) sebagai Pemimpin bagi seluruh manusia – Dia (Ibrahim) berkata – Dan (juga) dari anak-cucuku? Allah berfirman – (Benar, tetapi) janji-Ku tidak berlaku bagi orang-orang zalim” (QS.Al-Baqarah: 124).

Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yaqub – Wahai anak-anakku. Sesungguhnya Allah telah memilih Agama ini (Islam) untukmu. Maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim” (QS.Al-Baqarah: 132).

Sehingga ajaran yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim a.s, Nabi Ismail a.s, Nabi Ishak a.s, Nabi Yakub a.s dan anak-cucunya sampai Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s sampai Nabi Muhammad SAW adalah Islam. Dan barangsiapa yang mencari agama selain Islam di akhirat kelak tidak akan diterima dan akan merugi. Naudzubillah (lihat QS.Ali Imran: 84-85).

Nabi Musa a.s adalah seorang Muslim dan mengajak ummatnya untuk bertakwa hanya kepada Allah SWT, menyeru Tauhid. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Dan Musa berkata – Wahai kaumku, apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang Muslim” (QS.Yunus: 84).

Bahkan pengikut Nabi Isa a.s juga dengan jelas mengakui sebagai Muslim. MasyaAllah. Allah SWT berfirman (yang artinya): “Maka ketika Isa merasakan keingkaran mereka (bani Israil), dia berkata – Siapakah yang akan menjadi penolongku untuk (menegakkan agama) Allah? – Para ‘Hawariyyun’ (sahabat setia Isa) menjawab – Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah. Dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim(QS.Ali Imran: 52).

Kepahaman yang mendalam terhadap aspek sejarah dan peradaban Islam akan semakin meneguhkan keimanan dan ketakwaan dalam beragama. Sehingga akan semakin meningkatkan amal ibadah dan amal shaleh diri. InsyaAllah.

* Sumber :
Materi Kuliah SEKOLAH SEJARAH & PERADABAN
ISLAM : “Memurnikan Tauhid melalui Sejarah Peradaban para Nabi dan Rasul”, Ustadz HAIKAL HASSAN, Kampus UI Departemen Sejarah FIB-UI, Depok, 9 April 2016.

NATIVISASI, Kristenisasi dan Sekularisme. Skenario Nyata untuk Melemahkan Islam di Indonesia.


oleh : Adiadwan Herrawan.
 
Nativisasi adalah salah satu dari ‘tiga serangkai’ tantangan dakwah ummat di Indonesia sejak zaman kolonialisme hingga kini. Nativisasi bersama Kristenisasi dan Sekularisme adalah ‘musuh’ penegakan Ideologi Islam bagi ummat muslim di Indonesia.

Nativisasi yang merupakan upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan lokal untuk menolak dan menghilangkan pengaruh Islam di bumi Indonesia, merupakan program yang dijalankan saat pemerintah kolonial Belanda menguasai tanah air bersama para Orientalis.

Nativisasi cenderung mengembalikan masyarakat kepada nilai-nilai tradisi sehingga mengesampingkan nilai-nilai keagamaan yang telah dianutnya. Dalam konsep nativisme, nilai-nilai tradisi merupakan nilai asli yang hidup di masyarakat yang harus diangkat. Padahal, di sisi lain, kebudayaan bersifat dinamis sehingga nilai-nilai tradisi terus berkembang sehingga tidak ada yang murni. 1

Ada kecenderungan mengesampingkan Islam yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Mereka justru merujuk budaya Hindu-Budha maupun aliran 'sinkretisme' lainnya yang ada di Indonesia sebelum Islam datang. Padahal, budaya-budaya tersebut juga bukan budaya murni yang tanpa pengaruh dari budaya luar Indonesia. Usaha yang sistematis dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal setempat.

Nativisasi dianggap sebagai upaya melemahkan Islam di Indonesia, melalui mempromosikan Hindu dan Budha, yang secara jelas dapat dilihat dari bukti penulisan sejarah, demi tujuan melanggengkan penjajahan.

Faktor nativisasi juga sangat berperan dalam menghambat proses perkembangan Islam. Nativisasi yang berbentuk inventarisasi bahasa Jawa di beberapa sektor masih kuat dilakukan. Misalnya menjadi frase bangsa. Seperti Bakti Yuda Sapta, Bhineka Tunggal Ika atau Tutwuri Handayani. Padahal, kalimat-kalimat tersebut adalah peninggalan bahasa Hindu Majapahit yang masih berperadaban batu.

Tak hanya itu, hari-hari nasional, tokoh nasional, dan berbagai istilah resmi kehidupan berbangsa dan kenegaraan, selalu dikaitkan dengan tradisi Jawa. Sepertinya dijauhkan dari unsur yang berbau Islam. Kenapa Boedi Oetomo, bukan Syarikat Islam, Ki Hajar Dewantoro, bukan KH Ahmad Dahlan, dan Kartini, bukan Tjut Nyak Din atau Rohana kudus.2

Menafikan peran Islam dalam pembentukan budaya di Indonesia, menjadikan ajaran dan eksistensi Islam dianggap sebagai ‘barang asing’ yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa, sehingga secara perlahan akan menumbuhkan ‘keragu-raguan’ dalam keyakinan ummat, dan akhirnya akan berpaling ke ajaran lain. Dampak besar inilah yang menjadikan Nativisasi masuk ke dalam tiga tantangan dakwah ummat yang ujungnya sangat beresiko untuk menjadikan seorang mukmin menjadi kafir (murtad). Naudzubillah.

Kinilah saatnya ummat diberikan pemahaman yang cukup dengan dasar pertimbangan ilmu dan intelektualitas keIslaman yang tepat, dalam menghadapi pemikiran-pemikiran sesat yang marak berkembang di luar ideologi Islam yang ‘haq’. Hanya dengan cara itulah resiko pelemahan ajaran dan akidah Islam ummat dapat terus dijaga dan dipertahankan dengan baik.

Tugas dakwah selalu dituntut untuk kreatif menghadapi tantangan ini. Dan pendalaman sejarah Islam adalah salah satu kiat untuk menyikapinya. Semoga.

1  TIAR ANWAR BACHTIAR, M.Hum, Nativisasi Cenderung Tonjolkan Nilai Tradisi dan Kesampingkan Nilai Agama”,  Hidayatullah, 2015.
2  DR. ADIAN HUSAINI, MA, “Sepilisasi dan Nativisasi Ancaman Peradaban Islam di Indonesia”, Hidayatullah, 2009.

BAHAYA SEKULARISME: Menjauhkan Ummat dari Agama.


oleh : Adiadwan Herrawan.

Islam adalah musuh yang nyata bagi Barat. Musuh peradaban paska modern yang sangat dipengaruhi oleh arus Globalisasi dunia. Tidak terkecuali di Indonesia melalui kehadiran dan maraknya "gerakan Liberalisme" dengan pemikiran filsafat ilmuwan Barat yang telah merasuki bahkan di kalangan cendekiawan Muslim sekalipun, tampak semakin nyata dan berani di hadapan ummat Islam yang sejatinya sangat taat dalam ibadah keagamaan yang mengikuti referensi shahih Al-Qur’an dan Hadits. Sebuah tantangan bagi tradisi intelektual Islam dalam menghadapi usaha untuk menjauhkan ummat dari ajaran agamanya.

Konsep-konsep seperti Pluralisme, Multikulturalisme, kesetaraan Gender, Feminisme, Demokratisasi, Humanisme, Hak asasi manusia, kini telah memenuhi wacara para cendekiawan muslim liberal. Islam dianggap harus ikut berpartisipasi dalam ‘wacana kontemporer’, melalui mem-Baratkan Islam, men-Sekulerkan Islam atau me-Liberalkan Islam, menyesuaikan Islam dengan paham Barat. 1

Masuknya pemikiran Sekularisme Agama diawali melalui gerakan Misionarisme dan penyebaran pemikiran kaum Orientalis sejalan dengan penjajahan kolonialisme, yang memang berniat perjuangan ummat Islam dari ajaran agamanya. Mereka menyerang Islam melalui studi kritis secara sistematis dan masif terhadap Al-Qur’an bahkan juga Hadits. Mereka menggugat otentisitas dan validitas terhadap kitab tersebut, yang hal ini jelas telah menodai kesakralan kitab suci Islam dan berdampak kepada kepahaman ummat secara keseluruhan.

Dunia barat yang sangat mengutamakan dan mengandalkan kemampuan akal – intelektualitas serta rasionalitas dalam berpikir dan bertindak, telah menjauhkan ummat dari keyakinan akan keutamaan sumber wahyu. Padahal kita mengetahui bahwa dunia barat sangat berorientasi Materialistik, yang mengutamakan aspek kebebasan yang mutlak, keuntungan dan kemanfaatan pribadi yang mengarahkan tujuan hidup yang hanya sekali ini dimanfaatkan untuk kesenangan tanpa batas. Inilah yang mengakibatkan setiap pemeluk agama bebas menafsirkan kebenaran menurut penafsiran masing-masing, sehingga agamapun direlatifkan.

Kehidupan ummat Islam yang semakin modern dan juga dampak yang diakibatkan dengan intensifnya penyebaran ide pemikiran Sekularisme ini telah menjadikan kehidupan keberagaman ummat menjadi terganggu. Maraknya pandangan yang sangat liberal dan mendukung pluralisme tentu telah berdampak kepada kehidupan keseharian ummat. Karena mereka membuat dan mengembangkan Islam menurut versinya sendiri, yang disebarkan dengan pencitraan yang salah dengan mengandalkan intelektualitas yang sesat. Batu pijakan awalnya adalah keraguan, sedangkan dermaga akhirnya adalah ketidakyakinan. 2

Hal tersebut diperparah dengan dikembangkan secara masif ‘stigmatisasi’ secara serampangan kepada berbagai kelompok perjuangan dakwah ummat yang berusaha menegakkan dan memurnikan ajaran agama Islam. Stigmatisasi tersebut telah tersebar dan mempengaruhi persepsi ummat secara luas, sehingga telah menumbuhkan bibit keraguan terhadap perjuangan dakwah itu sendiri. Ketakutan dan kekhawatiran yang ditimbulkan menjadikan ummat lebih bersikap curiga dan bahkan menjauh dari aktivitas dakwah dan keagamaan di daerah-daerah.

Islam memang selalu menjadi ketakutan tersendiri bagi dunia barat, sehingga segala upaya dilakukan oleh mereka untuk melemahkan kebesaran Islam dan pergerakan dakwah ummat. Lemahnya pemahaman ilmu agama yang benar sangat berpotensi melemahnya akidah ummat Islam secara luas. Sehingga hal tersebut dapat semakin menjauhkan ummat dari agama, disebabkan mereka lebih mengutamakan kegiatan keseharian dalam mengejar kesuksesan dunia semata. Naudzubillah.

Sekularisme memang telah menjadi bahaya nyata bagi ummat di Indonesia. Kini dan akan datang. Selalu waspada.
1  Dr. HAMID FAHMY ZARKASYI, Pengantar – Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, 2011.
2  AKMAL SJAFRIL, ST.M.Pd.I, Islam 101, 2011.

Wednesday 20 April 2016

PRINSIP TAUHIDULLAH: Perbedaan Mendasar yang Memisahkan Tauhid Islam dari Paham Pluralisme Agama.


oleh : Adiadwan Herrawan.
Selama beberapa ratus tahun, kaum muslimin sangat mafhum bahwa kaum “di luar Islam” adalah kaum Kafir. Untuk mereka ada berbagai status, seperti dzimmi, harbi, musta’man atau mu’ahad. Al-Qur’an pun menggunakan sebutan “Kafir Ahli Kitab” dan “Kafir Musyrik” (QS. Al-Bayyinah: 6). 1

Nabi SAW bersabda : “Sesungguhnya kaum yang dimurkai adalah orang-orang YAHUDI, dan kaum yang tersesat adalah orang-orang NASRANI” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi).

Namun dalam perkembangannya terdapat sekelompok mukmin yang berusaha melakukan Dekonstruksi terhadap berbagai konsep baku dalam Islam. Upaya dekonstruksi atau reduksi konsep Islam ini berkembang pesat tidak saja di dunia pemikiran global, tapi juga masuk ke Indonesia sebagai paham Pluralisme Agama. Mereka mengaburkan pemahaman Tauhidullah dalam Islam dan berusaha menyatukan keyakinan Tauhid Islam berdampingan dengan kesyirikan kepada Allah SWT.

Secara substansial dan fundamental antara Iman dan Syirik, antara paham Tauhid Islam dengan paham Pluralisme agama tidaklah mungkin bertemu apalagi disatukan, karena masing-masing saling berlawanan dalam pemikiran. Yang satu mengakui eksklusivitas ke-Esaan Allah dan kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai satu-satunya jalan kebenaran dan keselamatan, sedangkan yang satunya lagi mengakui kebenaran semua agama. Karena dalam pandangan-NYA, kesyirikan adalah kedzaliman yang paling besar (‘zhulmun azhim’).

Dalam Islamic Worldview, sekedar menyatakan bahwa Allah SWT “mempunyai anak” saja sudah sebagai kemunkaran yang besar dan Allah SWT sangatlah murka karenanya, yang tercantum dalam firman Allah SWT : “Sesungguhnya TELAH KAFIRLAH orang-orang yang berkata – Sesungguhnya Allah ialah Almasih Putra Maryam... Almasih Putra Maryam itu hanyalah seorang Rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa Rasul” (QS. Al-Maidah: 72-75).

Dan diutusnya Nabi Muhammad SAW adalah untuk meluruskan kembali penyimpangan ajaran Nabi Isa a.s oleh kaum Kristen, yang sudah terlalu jauh diselewengkan oleh pengikut-pengikut agama mereka. Juga yang terkait dengan peristiwa “penyaliban Yesus”, yang menurut keyakinan kaum Kristen telah membenarkannya (Yohannes: 19). 2

Hal tersebut dibantah keras oleh Allah SWT dalam firman-Nya : “Dan karena ucapan mereka – Sesungguhnya kami telah membunuh Almasih Putra Maryam, Rasul Allah – Padahal mereka TIDAK MEMBUNUHNYA dan TIDAK (PULA) MENYALIBNYA...” (QS. An-Nisa: 157).

Melalui pemikiran Pluralisme semua kemunkaran tersebut dilegitimasi, karena telah membongkar Islam secara konsep dasarnya. Oleh karenanya sangatlah mustahil Pluralisme agama dapat hidup berdampingan secara damai dengan Tauhid Islam. Tetapi upaya Dekonstruksi dan Reduksi makna Islam tersebut terus berjalan, dan ironisnya justru dikembangkan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan. Dan, tidak banyak kalangan ulama dan cendekiawan yang menganggap hal ini sebagai masalah yang serius bagi perkembangan masa depan ummat dan dakwah Islam di Indonesia.

Seharusnyalah penyebar paham Pluralisme segera bertaubat dan menyadari kekeliruannya, yang mengatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara Konsepsi Tauhidullah Islam dengan ketuhanan Kristen/Katolik dengan teori Pluralisme-Teologisnya, agar segera mengkaji Islam lagi dengan baik, dan berpikir dengan lebih jernih dan ikhlas, yang jauh dari ‘silau’ dengan segala yang bersentuhan dengan ilmu Filsafat yang bersumber dari Barat. Semoga.

1  Dr. ADIAN HUSAINI, MA, Pluralisme Agama: Haram, Pustaka Al-Kautsar, 2005.
2  Dr. ADIAN HUSAINI, MA dan NUIM HIDAYAT, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Gema Insani, 2002.

Tuesday 19 April 2016

METODE INTERPRETASI "HERMENEUTIKA" : Awal Kesesatan Pemikiran Islam Liberal dalam Dekonstruksi Konsep Wahyu



oleh : Adiadwan Herrawan   
Dalam proses pemahaman ajaran Agama Islam, tantangan terhadap keberadaan Al-Qur’an untuk menyikapi aspek konteks zaman dan kekinian telah menjadi hal yang kritikal bagi sebagian ummat yang menamakan dirinya Islam Liberal. Dampak dekonstruksi konsep wahyu dan kenabian yang dilakukan oleh kaum liberal telah mengaburkan definisi mendasar dalam metode studi Al-Qur’an yang selama ini telah diyakini oleh sebagian besar ummat muslim.

Gugatan dan hujatan terhadap Al-Qur’an telah mencapai tahap mengkhawatirkan. Karena mereka telah berusaha menggugat otentisitas Al-Qur’an sebagai kitab suci, yang sejalan dengan pemikiran para orientalis Yahudi dan Kristen karena tidak meyakini akan keshahihan Al-Qur’an 1. Bahkan salah seorang pendiri Jaringan Islam Liberal dalam website-nya dengan tegas menyatakan bahwa keyakinan ummat Islam terhadap Al-Qur’an selama ini hanyalah merupakan formulasi dan angan-angan teologis (‘al-khayal al-dini’) hasil dari para ulama sebagai bagian dari formulasi doktrin-doktrin Islam 2. Naudzubillah.

Kesesatan pemikiran yang mendalam oleh kelompok Islam Liberal ini didasari oleh dampak serius yang diakibatkan metode Hermeneutika yang diterapkan untuk menafsirkan Al-Qur’an. Sebuah metode penafsiran secara obyektif dan subyektif yang melibatkan konteks historis yang wajar dilakukan dalam kajian filsafat dan sejarah, tetapi menjadi bermasalah bila dihadapkan kepada teks Al-Qur’an khususnya sebagai substitusi tafsir. Karena yang selama ini dipahami Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan yang seluruh lafadz dan maknanya berasal dari Allah SWT. Bagaimana mungkin bila sebagai kalam Ilahi, penafsir dapat memasuki alam si pembuat teks (Tuhan), menyelami maksud dan kehendak Tuhan ketika menurunkan Al-Qur’an?

Sikap kritis yang diajarkan dalam metode Hermeneutika telah memberi ruang bagi timbulnya permasalahan besar bila diterapkan pada teks Al-Qur’an, antara lain adanya sikap kritis yang cenderung curiga yang tidak dapat lepas dari kepentingan-kepentingan tertentu, khususnya terhadap konteks masyarakat Arab abad ke-7 dibandingkan relevansi kondisi saat ini.

Hal lain yang juga menjadi permasalahan besar adalah cara pandang teks sebagai produk budaya (manusia), yang mengabaikan hal-hal yang bersifat transenden (‘ilahiyyah’). Karena mereka beranggapan bahwa sebagai produk budaya, wahyu Tuhan dipengaruhi oleh budaya Arab, budaya di mana wahyu diturunkan. Berbagai kemukjizatan di dalam bahasa Al-Qur’an menjadi tereduksi kesahihannya. Juga metode Hermeneutika yang secara aktual sangat plural yang akibatkan kebenaran tafsirnya menjadi sangat relatif, yang kemudian akan sulit untuk diamalkan. 3

Sejatinya metode tafsir Hermeneutika telah diadopsi pihak Yahudi – Kristen dalam menafsirkan kitab suci mereka, yang berakibat terjadinya pemisahan antara Kristen dan Katolik. Yang sungguh mengherankan, kegagalan penerapan metode tersebut justru digunakan oleh kelompok Islam untuk menafsirkan Al-Qur’an, As-Sunnah bahkan Fiqih dan ajaran lainnya, dan diajarkan di universitas-universitas Islam, di fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir-Hadits. Subhanallah.

Apabila filsafat Hermeneutika digunakan kepada Al-Qur’an, maka ayat-ayat yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat, yang ushul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaghayyarat, yang qoth’iy menjadi dhonniy, yang ma’lum menjadi majhul, yang ijma’ menjadi ikhtilaf, yang mutawatir menjadi ahad dan yang yaqin menjadi dhonn bahkan syakk. Sebuah kerancuan yang mengarah kepada kesesatan agama yang nyata. Naudzubillah.

1  ADNIS ARMAS, MA, Serangan terhadap Al-Qur’an dari Orientalis hingga Islam Liberal, INSISTS.                     
2  ADNIS ARMAS, MA, Serangan terhadap Al-Qur’an dari Orientalis hingga Islam Liberal, INSISTS.                    
3  DR. ADIAN HUSAINI, MA, Hegemoni Kristen–Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Gema Insani, 2006.                                                                                                                                                          
4  Drs. HARTONO AHMAD JAIZ, Ada Pemurtadan di IAIN, Pustaka Al-Kautsar, 2006.

PLURALISME AGAMA : Sebuah Kesesatan Pemikiran dalam Konsep 'Diin'.

 
oleh : Adiadwan Herrawan.
Allah SWT menurunkan ‘diin’ sebagai petunjuk bagi manusia dalam kehidupannya. Melalui petunjuk inilah manusia dapat menilai kebenaran dan kebatilan yang dihadapinya dalam keseharian kehidupannya. Tetapi banyak manusia telah mengganti petunjuk dari Allah SWT tersebut dengan mendahulukan akal dan pikirannya sebagai pengganti wahyu dan ‘diin’ Allah SWT.

Kelompok manusia tersebut mengaku sebagai Mukmin dengan melakukan beberapa perintah ‘diin’, namun di dalam hatinya tidak ada keyakinan sebagaimana orang Mukmin. Ia tidak yakin bahwa Al-Qur’an pasti benar, akan tetapi bisa benar dan bisa salah. Tidak yakin dengan kebenaran Islam, di dalam hatinya tertanam keraguan tentang ‘diin’, sehingga menjadikannya kebenaran yang relatif. Inilah yang dikenal sebagai Liberalisme dalam agama. Aliran Liberal sangat erat dengan paham Sekularisme yang disebarkan oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai seorang Mukmin dan sangat terkagum-kagum dengan pemikiran Barat, lalu sering melontarkan pendapat yang ‘berseberangan’ dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kelompok ini didukung oleh sebuah kekuatan besar yang bertarung di panggung pemikiran berhadapan langsung dengan pemikiran Islam yang haq.1

Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang paham Pluralisme Agama yang bertentangan dengan ajaran Islam, karena asumsi yang diyakininya bahwa semua agama adalah jalan yang sama menuju Tuhan yang sama, sehingga menyetarakan semua agama dalam kebenaran. Hal ini bertentangan dengan Dalil Al-Qur’an : “Sesungguhnya Agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”.2  Serta juga firman Allah SWT : “Barangsiapa yang mencari agama selain Agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”. 3  Dan juga ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : “Barangsiapa yang Murtad di antara kamudari Agamanya, lalu dia mati dalam Kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan merek itulah penghuni Neraka, mereka kekal di dalamnya”. 4

Segala yang dilakukan oleh kelompok Islam Liberal dalam paham Pluralisme Agama sejatinya adalah upaya Dekonstruksi dan Reduksi pemaknaan dan konsep ‘diin’, yang merupakan konflik abadi antara peradaban dan pemikiran Islam dengan Barat. Hal ini dihiasi dengan semangat permusuhan dan dendam serta kebencian yang mendalam akibat sejarah Perang Salib dulu.

Pluralisme agama berbeda dengan Pluralitas. Pluralitas hanyalah mengakui adanya agama-agama, tetapi tidak mengakui sama ataupun benarnya. Sedangkan Pluralisme agama itu mengakui semua agama sama. Jadi Pluralisme Agama itu paham kemusyrikan, menyamakan semua agama.5  Kesesatan pemikiran tersebut mengakibatkan pandangan bahwa kebenaran adalah relatif, yang bisa datang dari manusia, sebagaimana kesalahan bisa muncul dari wahyu. Kebenaran wahyu baru bisa diterima apabila dapat teruji dalam kehidupan sosial dalam masyarakat.

Kesesatan paham Pluralisme ini ironisnya justru dikembangkan oleh tokoh-tokoh dan cendekiawan yang bukan hanya dianggap mempunyai otoritas dalam keilmuan Islam, tetapi juga dihormati di lembaga-lembaga keagamaan. Dan lebih prihatin lagi, tidak banyak kalangan ulama dan cendekiawan yang menganggap hal ini sebagai masalah yang serius bagi perkembangan masa depan ummat atau dakwah Islam di Indonesia. 6

Dalam perspektif Islam, seorang Muslim tidak boleh meyakini kebenaran ‘Diin’ di luar agama Islam. Juga tidak boleh menampakkan keberpihakan kepada kelompok yang telah menyesatkan melalui paham Pluralisme, apalagi loyal dan menunjukkan pembelaan kepadanya. Naudzubillah. Dalam kondisi banyaknya pemikiran perusak Akidah seperti paham Pluralisme Agama yang telah jelas sebagai paham syirik, maka tidak ada jalan lain bagi setiap Mukmin agar membentengi diri dan keluarganya melalui perdalam keilmuan Islam yang kuat agar dapat menangkal dan melawan pemikiran sesat di sekitar kita. InsyaAllah.

1  DR. DAUD RASYID, MA, Pengantar - Penyesatan Opini: Sebuah Rekayasa Mengubah Citra, DR. Adian Husaini, MA, Gema Insani, 2002.                                                                                                      
2  QS. Ali Imran: 19.                                                                                                                                           
3  QS. Ali Imran: 85.                                                                                                          
4  QS. Al-Baqarah: 217.                                                                                                                                      
5  HARTONO AHMAD JAIZ, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal, Pustaka Al-Kautsar, 2010.                             

6   DR. ADIAN HUSAINI, MA, Pluralisme Agama: Haram, Pustaka Al-Kautsar, 2005.

Friday 8 April 2016

TRADISI ILMU dengan Cara Pandang Islam ('Islamic Worldview') untuk Menghadapi Pemikiran Barat.

 
oleh : Adiadwan Herrawan.
Saat ini, ummat Islam di Indonesia sedang menghadapi tantangan berat dalam kehidupan keberagamaan. Atas nama “Globalisasi”, tantangan dari dunia Barat tidak saja 'menjajah' sektor ekonomi semata, tapi juga yg paling berbahaya saat ini Barat telah 'menjajah' pemikiran dan budaya bangsa, yang menjadikannya sebagai sebuah ancaman yang sangat serius bagi ummat Muslim, khususnya yang ‘silau’ terhadap pemahaman dan cara berpikir, budaya keseharian, pakaian serta gaya hidup bersama cara pandang barat (‘Western Worldview’).
Di era Globalisasi saat ini, seharusnya ummat Muslim sadar bahwa setiap saat keimanan mereka sedang dalam kondisi diperangi habis-habisan oleh nilai-nilai “Sekuler-Liberal” yang dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran Islam dan keimanan mereka. Diperlukan upaya nyata agar ummat tidak terjebak dan terperosok ke dalam pemikiran yg dapat merusak keimanannya.
Dalam dominasi peradaban dan pandangan barat ('Western Worldview'), ummat Islam dipaksa melepas pandangannya tentang Allah, Nabi Muhammad SAW, Al-Qur'an, sehingga diperlukan cara pandang Islam ('Islamic Worldview') melalui penguatan pemahaman mengenai konsep-konsep dalam Islam, seperti konsep Tuhan, konsep manusia, konsep alam, konsep wahyu, konsep kenabian, konsep ilmu, dan lainnya. Hal ini perlu dilakukan agar ummat Islam memiliki ‘benteng’ mempertahankan keimanan dan keyakinan ke-Islamannya.1
Peradaban barat menawarkan Kapitalisme dalam mempromosikan nilai-nilai yg jauh dari aturan Islam, seperti nilai Individualisme, Materialisme, Konsumerisme, Hedonisme serta wacana pemikiran Pluralisme, Inklusivisme dan Humanisme. Hal ini sejalan dengan bahayanya nilai-nilai yang kontroversial disebarkan oleh kelompok Liberal dalam Islam, antara lain melalui pemikiran “Teologi Inklusif-Pluralis”, suatu gagasan yang mendangkalkan akidah ummat dengan mengaburkan dan menyamakan semua agama, menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan dan yang terpenting upaya penolakan terhadap syariat Islam.2
Dampaknya sangat berbahaya bagi diri, keluarga dan ummat, karena akan merusak akidah yang dapat berakhir pada kemurtadan dari Islam. Naudzubillah.

* Allah SWT berfirman (yg artinya) : "Barangsiapa YANG MURTAD di antara kamu dari Agamanya lalu dia MATI DALAM KEKAFIRAN, maka mereka itulah yang SIA-SIA amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah PENGHUNI NERAKA, mereka KEKAL DI DALAMNYA". (QS.Al-Baqarah: 217).
Sudah saatnya diperlukan adanya jawaban yang mendasar dan komprehensif terhadap tersebar luasnya pemikiran-pemikiran yang menyimpang tersebut di kalangan ummat Islam di Indonesia. Dan hal ini tentu sangat menghambat kelompok-kelompok Islam yang berjuang untuk menerapkan dan menegakkan Syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan.
Karena pemikiran-pemikiran ini sudah merasuk ke jantung-jantung kehidupan kaum Muslim (baik rumah tangga maupun institusi pendidikan), maka di tengah zaman seperti ini, mau tidak mau, setiap Muslim wajib membentengi dirinya dengan keilmuan Islam yang benar dan memahami pemikiran batil yang dapat merusak keimanannya. Oleh karenanya ummat Islam harus diwajibkan untuk menuntut ilmu setiap waktu agar dapat mengetahui mana yang benar dan salah, mana yang Tauhid dan Syirik melalui kerangka pemikiran Islam yang kokoh dengan kepahaman ‘Islamic Worldview’, agar tidak dapat terombang-ambing dalam kehidupan ini. Inilah Tradisi Ilmu dengan semangat untuk mendalami keilmuan agama Islam, yang selanjutnya diamalkan melalui mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Untuk itulah, setiap Muslim wajib memiliki cara pandang hidup Islam (‘Islamic Worldview’). Dengan itu, insyaallah, dia akan mampu menghadapi tantangan pemikiran modern yang dapat merusak keimanannya, dan diapun dapat hidup dalam keimanan, dalam keyakinan tentang Islam, dan pada akhirnya dia dapat menikmati hidup yang penuh dengan kebahagiaan, karena dia hidup dalam keyakinan.3

1)- Adnin Armas, MA, ISLAMIC WORLVIEW - Pengantar Konsep.
2)- Adian Husaini, MA dan Nuim Hidayat, ISLAM LIBERAL Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan Jawabannya, Gema Insani, 2002.
3)- DR. Adian Husaini, Untuk Apa Belajar Islamic Worldview ?

 

ISLAM NUSANTARA: Tantangan Dakwah dalam Perang Pemikiran (‘Ghazwul Fikriy’)

 
oleh : Adiadwan Herrawan.
Konsep ISLAM NUSANTARA akhir-akhir ini telah menjadi perdebatan di antara para aktivis dakwah di Indonesia. Inisiator kelompok ini mengaku bahwa konsep tersebut merupakan itikad luhur yang menggabungkan antara nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat di tanah air, dengan menunjukkan adanya ‘kearifan lokal’ yang tidak melanggar ajaran Islam. Konsep ini dianggap sebagai pandangan umat Islam Indonesia yang melekat dengan budaya nusantara. Bahkan mereka meyakini bahwa Islam Nusantara telah lahir bersamaan dengan hadirnya Pesantren yang dirumuskan oleh para Kyai Ahlussunnah Wal jamaah sebagai warisan para Wali Songo sebagai ciri Kebangsaan Indonesia.     
Kita selayaknyalah untuk mewaspadai segala bentuk lahirnya hal baru dalam konteks keagamaan di Indonesia tersebut, karena seolah telah terencana secara kasat mata lahirnya Islam Nusantara ini melalui berbagai rangkaian kegiatan resmi baik di tataran Pemerintah Pusat, Kementerian Agama, Organisasi Masyarakat, Universitas Islam Negeri serta liputan Media yang sangat intensif membahasnya, sehingga telah membentuk opini publik yang sangat mengkhawatirkan. Adanya tipikal gaya pendekatan kelompok pendukung Liberalisme dalam Agama turut menjadikan konsep Islam Nusantara perlu menjadi perhatian yang serius. Oleh karenanya di sinilah diperlukan upaya nyata dan sikap kritis untuk menghadapi argumentasi yang mereka kemukakan, dengan cara yang santun dan berdasar kepada keilmuan agama yang kuat. Sebuah tantangan dakwah yang nyata dalam format Perang Pemikiran (‘Ghazwul Fikriy’) dalam format Gerakan Intelektual.
Dalam menjalani gerakan dakwah intelektual, hal utama dan pertama yang harus dipahami adalah adanya peringatan Allah SWT dalam firmannya (yang artinya): “Iblis berkata – Ya Tuhanku, karena Engkau telah memutuskan bahwa aku SESAT, pasti aku akan MENJADIKAN MEREKA MEMANDANG BAIK (PERBUATAN MAKSIAT) di muka bumi, dan pasti aku akan MENYESATKAN MEREKA SEMUANYA, kecuali hamba-hamba-MU yang ikhlas di antara mereka” .
(QS. Al-Hijr: 39-40). Sebuah dalil yang telah jelas, bagaimana kehadiran berbagai hal baru yang hadir atas nama keindahan istilah semacam Islam Nusantara yang berusaha ‘membuat jarak’ dengan segala yang ‘dekat’ dengan isu Arabisasi, Jilbab, pengucapan Salam, bahkan langgam bahasa Arab di bumi Indonesia ini, dan berusaha mengembalikan kepada akar budaya lokal, patutlah disikapi dengan cermat.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab, Eropa, Asia, dan sebagainya. Tentu kesalahan sangat fatal jika Islam disejajarkan dengan adat istiadat dan budaya sehingga menganggap ajaran Islam dapat disesuaikan dengan budaya lokal.
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Katakanlah - Hai manusia, sesungguhnya aku adalah UTUSAN ALLAH KEPADAMU SEMUA, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan yang mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS. Al-A’raf: 158).
* Allah SWT berfirman (yang artinya) : “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan KEPADA UMMAT MANUSIA SELURUHNYA, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui” (QS.Saba’: 28).
Dengan dalil-dalil di atas sangatlah jelas bagaimana Islam diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW untuk seluruh ummat manusia di bumi ini. Rasulullah SAW memang diutus saat itu di tengah bangsa Arab untuk ‘meng-Islamkan Arab’, bukan meng-Arabkan Islam. Bahkan untuk meng-Islamkan seluruh bangsa-bangsa di dunia, bukan untuk meng-Arabkan ummat manusia. Sehingga sangatlah jelas, tidak ada ada istilah ‘Arabisasi dalam Islam’, yang ada adalah – Islamisasi segenap ummat manusia.  Maka dalam aktualisasinya, sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT yang tercantum di Al-Qur’an dan Hadits, apapun itu yang ‘tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits’ harus diluruskan, bukan justru sebaliknya ajaran Islam yang harus menyesuaikan kondisi budaya lokal, bila budaya tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Munculnya konsep-konsep seperti ini merupakan tipikal gerakan yang dijiwai oleh semangat Liberalisme dan Pluralisme dalam agama Islam selama ini - yang selalu mencari-cari pembenaran ‘ilmiah’ dengan alasan untuk melestarikan keragaman atau menjaga tradisi kearifan lokal. 1                                                                                
Sejalan dengan perjuangan dalam menghadapi gerakan seperti ini, yang sangat berpotensi untuk memecah belah ummat, khususnya kewaspadaan terhadap isu Islam Liberal, seharusnyalah diperlukan persatuan ummat yang bahu membahu dalam menghadapinya, mengabaikan begitu saja perbedaan mazhab, harakah, dan pandangan politik yang selama ini mengotak-ngotakkan ummat Islam. Ini adalah ‘entry point’ yang penting untuk diperhatikan oleh semua aktivis dakwah, jika memang niatnya lillahi ta’ala dan bersih dari segala ta’ashub. 2
Semoga tantangan dinamika keummatan yang akhir-akhir ini semakin meningkat, khususnya dengan berkembangnya isu konsep Islam Nusantara ini, dapat dijadikan momentum terbaik bagi para aktivis dakwah untuk terus bersinergi dalam langkah perjuangan dakwah mengawal akidah ummat melalui perang pemikiran (‘ghazwul fikriy’) yang menjunjung tinggi intelektualitas keilmuan berdasarkan nilai-nilai kebenaran sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah. InsyaAllah.

1)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. 8.
2)- Akmal Sjafril, Islam Liberal 101, hlm. xiv.