Friday 22 April 2016

NATIVISASI, Kristenisasi dan Sekularisme. Skenario Nyata untuk Melemahkan Islam di Indonesia.


oleh : Adiadwan Herrawan.
 
Nativisasi adalah salah satu dari ‘tiga serangkai’ tantangan dakwah ummat di Indonesia sejak zaman kolonialisme hingga kini. Nativisasi bersama Kristenisasi dan Sekularisme adalah ‘musuh’ penegakan Ideologi Islam bagi ummat muslim di Indonesia.

Nativisasi yang merupakan upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan lokal untuk menolak dan menghilangkan pengaruh Islam di bumi Indonesia, merupakan program yang dijalankan saat pemerintah kolonial Belanda menguasai tanah air bersama para Orientalis.

Nativisasi cenderung mengembalikan masyarakat kepada nilai-nilai tradisi sehingga mengesampingkan nilai-nilai keagamaan yang telah dianutnya. Dalam konsep nativisme, nilai-nilai tradisi merupakan nilai asli yang hidup di masyarakat yang harus diangkat. Padahal, di sisi lain, kebudayaan bersifat dinamis sehingga nilai-nilai tradisi terus berkembang sehingga tidak ada yang murni. 1

Ada kecenderungan mengesampingkan Islam yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam membentuk kebudayaan Indonesia. Mereka justru merujuk budaya Hindu-Budha maupun aliran 'sinkretisme' lainnya yang ada di Indonesia sebelum Islam datang. Padahal, budaya-budaya tersebut juga bukan budaya murni yang tanpa pengaruh dari budaya luar Indonesia. Usaha yang sistematis dijalankan untuk menghilangkan peran kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya lokal setempat.

Nativisasi dianggap sebagai upaya melemahkan Islam di Indonesia, melalui mempromosikan Hindu dan Budha, yang secara jelas dapat dilihat dari bukti penulisan sejarah, demi tujuan melanggengkan penjajahan.

Faktor nativisasi juga sangat berperan dalam menghambat proses perkembangan Islam. Nativisasi yang berbentuk inventarisasi bahasa Jawa di beberapa sektor masih kuat dilakukan. Misalnya menjadi frase bangsa. Seperti Bakti Yuda Sapta, Bhineka Tunggal Ika atau Tutwuri Handayani. Padahal, kalimat-kalimat tersebut adalah peninggalan bahasa Hindu Majapahit yang masih berperadaban batu.

Tak hanya itu, hari-hari nasional, tokoh nasional, dan berbagai istilah resmi kehidupan berbangsa dan kenegaraan, selalu dikaitkan dengan tradisi Jawa. Sepertinya dijauhkan dari unsur yang berbau Islam. Kenapa Boedi Oetomo, bukan Syarikat Islam, Ki Hajar Dewantoro, bukan KH Ahmad Dahlan, dan Kartini, bukan Tjut Nyak Din atau Rohana kudus.2

Menafikan peran Islam dalam pembentukan budaya di Indonesia, menjadikan ajaran dan eksistensi Islam dianggap sebagai ‘barang asing’ yang tidak sesuai dengan jati diri bangsa, sehingga secara perlahan akan menumbuhkan ‘keragu-raguan’ dalam keyakinan ummat, dan akhirnya akan berpaling ke ajaran lain. Dampak besar inilah yang menjadikan Nativisasi masuk ke dalam tiga tantangan dakwah ummat yang ujungnya sangat beresiko untuk menjadikan seorang mukmin menjadi kafir (murtad). Naudzubillah.

Kinilah saatnya ummat diberikan pemahaman yang cukup dengan dasar pertimbangan ilmu dan intelektualitas keIslaman yang tepat, dalam menghadapi pemikiran-pemikiran sesat yang marak berkembang di luar ideologi Islam yang ‘haq’. Hanya dengan cara itulah resiko pelemahan ajaran dan akidah Islam ummat dapat terus dijaga dan dipertahankan dengan baik.

Tugas dakwah selalu dituntut untuk kreatif menghadapi tantangan ini. Dan pendalaman sejarah Islam adalah salah satu kiat untuk menyikapinya. Semoga.

1  TIAR ANWAR BACHTIAR, M.Hum, Nativisasi Cenderung Tonjolkan Nilai Tradisi dan Kesampingkan Nilai Agama”,  Hidayatullah, 2015.
2  DR. ADIAN HUSAINI, MA, “Sepilisasi dan Nativisasi Ancaman Peradaban Islam di Indonesia”, Hidayatullah, 2009.

No comments:

Post a Comment