oleh : Adiadwan Herrawan.
Nativisasi
adalah salah satu dari ‘tiga serangkai’ tantangan dakwah ummat di Indonesia sejak
zaman kolonialisme hingga kini. Nativisasi bersama Kristenisasi dan Sekularisme
adalah ‘musuh’ penegakan Ideologi Islam bagi ummat muslim di Indonesia.
Nativisasi yang
merupakan upaya untuk menghidupkan kembali kebudayaan lokal untuk menolak dan
menghilangkan pengaruh Islam di bumi Indonesia, merupakan program yang
dijalankan saat pemerintah kolonial Belanda menguasai tanah air bersama para
Orientalis.
Nativisasi
cenderung mengembalikan masyarakat kepada nilai-nilai tradisi sehingga
mengesampingkan nilai-nilai keagamaan yang telah dianutnya. Dalam konsep
nativisme, nilai-nilai tradisi merupakan nilai asli yang hidup di masyarakat
yang harus diangkat. Padahal, di sisi lain, kebudayaan bersifat dinamis
sehingga nilai-nilai tradisi terus berkembang sehingga tidak ada yang murni. 1
Ada
kecenderungan mengesampingkan Islam yang mempunyai pengaruh sangat besar dalam
membentuk kebudayaan Indonesia. Mereka justru merujuk budaya Hindu-Budha maupun
aliran 'sinkretisme' lainnya yang ada di Indonesia sebelum Islam datang. Padahal,
budaya-budaya tersebut juga bukan budaya murni yang tanpa pengaruh dari budaya
luar Indonesia. Usaha yang sistematis dijalankan untuk menghilangkan peran
kesejarahan Islam dan umatnya dari suatu negeri dengan cara mengangkat budaya
lokal setempat.
Nativisasi
dianggap sebagai upaya melemahkan Islam di Indonesia, melalui mempromosikan
Hindu dan Budha, yang secara jelas dapat dilihat dari bukti penulisan sejarah,
demi tujuan melanggengkan penjajahan.
Faktor
nativisasi juga sangat berperan dalam menghambat proses perkembangan Islam.
Nativisasi yang berbentuk inventarisasi bahasa Jawa di beberapa sektor masih
kuat dilakukan. Misalnya menjadi frase bangsa. Seperti Bakti Yuda Sapta, Bhineka
Tunggal Ika atau Tutwuri Handayani. Padahal, kalimat-kalimat tersebut adalah
peninggalan bahasa Hindu Majapahit yang masih berperadaban batu.
Tak
hanya itu, hari-hari nasional, tokoh nasional, dan berbagai istilah resmi
kehidupan berbangsa dan kenegaraan, selalu dikaitkan dengan tradisi Jawa.
Sepertinya dijauhkan dari unsur yang berbau Islam. Kenapa Boedi Oetomo, bukan
Syarikat Islam, Ki Hajar Dewantoro, bukan KH Ahmad Dahlan, dan Kartini, bukan
Tjut Nyak Din atau Rohana kudus.2
Menafikan
peran Islam dalam pembentukan budaya di Indonesia, menjadikan ajaran dan
eksistensi Islam dianggap sebagai ‘barang asing’ yang tidak sesuai dengan jati
diri bangsa, sehingga secara perlahan akan menumbuhkan ‘keragu-raguan’ dalam
keyakinan ummat, dan akhirnya akan berpaling ke ajaran lain. Dampak besar
inilah yang menjadikan Nativisasi masuk ke dalam tiga tantangan dakwah ummat
yang ujungnya sangat beresiko untuk menjadikan seorang mukmin menjadi kafir
(murtad). Naudzubillah.
Kinilah
saatnya ummat diberikan pemahaman yang cukup dengan dasar pertimbangan ilmu dan
intelektualitas keIslaman yang tepat, dalam menghadapi pemikiran-pemikiran
sesat yang marak berkembang di luar ideologi Islam yang ‘haq’. Hanya dengan
cara itulah resiko pelemahan ajaran dan akidah Islam ummat dapat terus dijaga dan
dipertahankan dengan baik.
Tugas
dakwah selalu dituntut untuk kreatif menghadapi tantangan ini. Dan pendalaman
sejarah Islam adalah salah satu kiat untuk menyikapinya. Semoga.
1
TIAR ANWAR BACHTIAR, M.Hum, “Nativisasi
Cenderung Tonjolkan Nilai Tradisi dan Kesampingkan Nilai Agama”, Hidayatullah, 2015.
2 DR. ADIAN HUSAINI, MA, “Sepilisasi dan Nativisasi Ancaman Peradaban Islam di Indonesia”,
Hidayatullah, 2009.
No comments:
Post a Comment